Semenjak era enlightenment dan renaissance di Eropa, kaum intelektual, akademisi , terlebih mereka yang mengajar ilmu pengetahuan sanggup meraih posisi dan status sosial yang lebih tinggi dibanding saat zaman kegelapan abad pertengahan. Di beberapa negara mereka bahkan berhasil menggeser pengaruh para pemuka - pemuka agama yang telah lama memegang hegemoni kekuasaan berdampingan dengan para raja. Mereka yang dapat memahami dan menjelaskan dengan lancar hukum gravitasi Newton lebih dihormati dibanding mereka yang hafal kutukan - kutukan di Bible. Sains, ilmu pengetahuan, dan prinsip hidup sekuler mulai mendominasi segi - segi kehidupan di dunia. Disebarkan oleh negara - negara Eropa yang mengembangkan imperium mereka ke seluruh penjuru bumi.
Fast-forward 500 tahun. Keadaan di Indonesia tak jauh berbeda. Walaupun status sosial para pemuka-pemuka agama seperti ulama, pastor, dan biksu tetap tinggi, prestise seorang akademisi bisa dibilang melebihi para pemuka-pemuka agama tersebut. Walaupun dalam bidang pengaruh masih dimenangkan oleh mereka (baca: pemuka-pemuka agama). Prestise akademisi yang tinggi juga menyebabkan tingginya rasa hormat kepada mereka yang membantu orang - orang biasa menjadi akademisi intelektual. Ya, para pahlawan tanpa tanda jasa , guru.
Dari masa politik etis hingga reformasi, guru hampir selalu bersikap bagai jelmaan dewa yang tak memiliki salah. Jika guru salah, ya berarti itu disebabkan oleh perilaku muridnya yang salah. keblinger. Gila hormat. Masih layak jika guru itu memang sungguh - sungguh dan profesional dalam melaksanakan tugasnya. Lah gimana kalau kerjanya asal - asalan?
Tidak serius mengajar, membawa masalah pribadi, emosional tanpa alasan yang jelas, tidak mampu menjelaskan dengan baik. Dalam waktu bersamaan juga menerima gaji. Memang sudah seharusnya ada guidelines atau pelatihan khusus menjadi guru sebagaimana yang telah diterapkan di Finlandia (negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia). Karena guru lah ini sosok yang paling berpengaruh dalam pembentukan sikap dan mental calon-calon akademisi, birokrat, pengusaha, dan berbagai profesi mulia lainya.
Kembali ke rumusan masalah...
Apakah Guru harus selalu dihormati? Kesampingkan dulu dalil agamis atau norma - norma formalitas di masyarakat. Sejenak gunakanlah akal pikiran dan rasionalitas masing - masing. Coba kita lihat profesi - profesi lain. Polisi misalnya, jika mereka tidak serius dalam mengayomi masyarakat dan malah merugikan masyarakat dengan bersikap sewenang - wenang, apakah masih pantas dihormati? Para wakil rakyat, jika mereka hanya membela kepentingan pribadi dan partai tanpa peduli sedikit pun terhadap problematika wong cilik, apakah masih pantas disegani?
Tak ada bedanya dengan guru. Jika mereka tidak serius dalam mengajar dan bermalas-malasan dalam mengajar, marah kepada siswa tanpa alasan yang jelas, seenaknya sendiri mengatur jadwal tanpa adanya rasa tanggung jawab. Apakah masih pantas dihormati sebagai seseorang pahlawan tanpa tanda jasa? Bagi saya sendiri, jelas tidak. Guru bukanlah orangtua yang merawat kita tanpa pamrih. Mereka menerima gaji. Terlebih guru sekolah negeri yang digaji oleh uang rakyat.
Conclusion, hormatilah seseorang karena pribadi dan sikapnya, jangan karena jabatanya.
Mengutip Soe Hok Gie, "Guru bukan dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau."
*Tulisan di atas adalah opini pribadi penulis. Jika berbeda pendapat mari diskusi. Hujat juga boleh. Hidup Freedom of Speech.
Fast-forward 500 tahun. Keadaan di Indonesia tak jauh berbeda. Walaupun status sosial para pemuka-pemuka agama seperti ulama, pastor, dan biksu tetap tinggi, prestise seorang akademisi bisa dibilang melebihi para pemuka-pemuka agama tersebut. Walaupun dalam bidang pengaruh masih dimenangkan oleh mereka (baca: pemuka-pemuka agama). Prestise akademisi yang tinggi juga menyebabkan tingginya rasa hormat kepada mereka yang membantu orang - orang biasa menjadi akademisi intelektual. Ya, para pahlawan tanpa tanda jasa , guru.
Dari masa politik etis hingga reformasi, guru hampir selalu bersikap bagai jelmaan dewa yang tak memiliki salah. Jika guru salah, ya berarti itu disebabkan oleh perilaku muridnya yang salah. keblinger. Gila hormat. Masih layak jika guru itu memang sungguh - sungguh dan profesional dalam melaksanakan tugasnya. Lah gimana kalau kerjanya asal - asalan?
Tidak serius mengajar, membawa masalah pribadi, emosional tanpa alasan yang jelas, tidak mampu menjelaskan dengan baik. Dalam waktu bersamaan juga menerima gaji. Memang sudah seharusnya ada guidelines atau pelatihan khusus menjadi guru sebagaimana yang telah diterapkan di Finlandia (negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia). Karena guru lah ini sosok yang paling berpengaruh dalam pembentukan sikap dan mental calon-calon akademisi, birokrat, pengusaha, dan berbagai profesi mulia lainya.
Kembali ke rumusan masalah...
Apakah Guru harus selalu dihormati? Kesampingkan dulu dalil agamis atau norma - norma formalitas di masyarakat. Sejenak gunakanlah akal pikiran dan rasionalitas masing - masing. Coba kita lihat profesi - profesi lain. Polisi misalnya, jika mereka tidak serius dalam mengayomi masyarakat dan malah merugikan masyarakat dengan bersikap sewenang - wenang, apakah masih pantas dihormati? Para wakil rakyat, jika mereka hanya membela kepentingan pribadi dan partai tanpa peduli sedikit pun terhadap problematika wong cilik, apakah masih pantas disegani?
Tak ada bedanya dengan guru. Jika mereka tidak serius dalam mengajar dan bermalas-malasan dalam mengajar, marah kepada siswa tanpa alasan yang jelas, seenaknya sendiri mengatur jadwal tanpa adanya rasa tanggung jawab. Apakah masih pantas dihormati sebagai seseorang pahlawan tanpa tanda jasa? Bagi saya sendiri, jelas tidak. Guru bukanlah orangtua yang merawat kita tanpa pamrih. Mereka menerima gaji. Terlebih guru sekolah negeri yang digaji oleh uang rakyat.
Conclusion, hormatilah seseorang karena pribadi dan sikapnya, jangan karena jabatanya.
Mengutip Soe Hok Gie, "Guru bukan dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau."
*Tulisan di atas adalah opini pribadi penulis. Jika berbeda pendapat mari diskusi. Hujat juga boleh. Hidup Freedom of Speech.
Komentar
Posting Komentar