Langsung ke konten utama

Ironi di Kala Pandemi

 Sebulan udah lewat sejak kasus pertama dan kedua Covid-19 ditemukan di Indonesia. Sampai hari ini , jumlah kasus di negeri +62 ini telah bertambah kurang lebih 1.700 kali lipat.
Suasa seremoni pembagian sembako di Klaten
Sumber : twitter.com mahasiswa yujiem

 Penanganan diawali dengan "diksi - diksi" Bapak Menteri Kesehatan yang kerap kali membuat naik pitam emosi para netizen sosmed Indonesia. Sehingga membuat elit Istana resah dan memblokir mulut Pak Terawan dari kejaran aparat media. Hari-hari semenjak itu diisi oleh laporan rutin terkait kasus Covid-19 , disampaikan oleh bapak Jubir yang berdiri di podium dihadapan jepretan para wartawan.

Sejauh ini, usaha peredaman penyebaran virus dilakukan secara bertahap dan hati-hati. Dari pemerintah -baik pusat maupun daerah- telah menerapkan beberapa langkah preventif. Pemberlakuan PSBB di DKI, Rapid Test di Jawa Barat, dan karantina wilayah di beberapa daerah. Gelontoran dana 405 Triliun untuk penanganan virus corona serta 24 T untuk bansos telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Masyarakat pun tak mau kalah. Beberapa RT,RW, dan desa bahkan berinisiatif memberlakukan karantina daerahnya masing-masing tanpa adanya intruksi dari pemerintah daerah. Rakyat yang mampu, memberlakukan karantina diri di rumah masing-masing dalam gerakan #DiRumahAja. Berbagai LSM juga turut berkontribusi dengan mengadakan penggalangan dana untuk penyediaan masker, hand sanitizer, hingga bantuan dana bagi mereka yang terdampak oleh situasi corona saat ini.

Sudah sepantasnya setiap unsur negara melaksanakan peranya untuk meredam dan harapanya memberantas pandemik yang sekarang telah menjadi bencana nasional.

Sayangnya, saat pemerintah, warga, dan LSM sedang sibuk-sibuknya meredam kobaran pandemik, beberapa individu pejabat publik justru memanfaatkan pandemik ini untuk meningkatkan citranya di depan publik tanpa mementingkan keselamatan publik. Sebagai contoh seperti apa yang saya temui di laman twitter mahasiswa yujiem. Peristiwa ini terjadi di Kabupaten Klaten.

Bupati Klaten membagikan sembako kepada warganya yang terdampak situasi corona. Setelah mencermati kalimat barusan, mungkin menurut kalian ngga ada yang salah. Ya memang, membagikan sembako di tengah-tengah masa pandemik tidak salah, bahkan merupakan perbuatan terpuji dan baik. Tapi masalahnya, sang Bupati membagikan sembako dilengkapi dengan sebuah seremoni. Apa ga keblinger? Saat daerah lain sedang gencar-gencarnya sosialisasi #DiRumahAja, daerahnya malah kumpul rame - rame. Belum lagi pembagian kaos yang bersifat politis dan karangan bunga yang terlihat narsis.

Untuk melihat sambatan lebih jelasnya bisa diklik link di paragraf sebelumnya menuju laman twitter mahasiswa yujiem.

Kalau menurut kalian hanya itu aksi beliau yang sembrono, anda salah. Ibu Bupati turut menambah kegiatan kontra-produktifnya dengan membagikan masker dan hand sanitizer kepada warga pasar tradisional sambil mengundang massa dan membuat kerumunan orang menumpuk sambil mengambil donasi beliau. Buktinya ada di link ini. Ya Tuhan YME bu..., apakah tidak ada cara yang lebih efisien dan efektif? Misalnya bisa menggunakan tim kecil dari Pemda, membagikan kepada warga pasar dengan mendatanginya dan tanpa mengundang kerumunan massa.
Kerumunan warga berdesakan merebut pembagian masker di Klaten
Sumber : Tribun Solo

Ya sudahlah, mungkin beliau tidak terlalu peduli keselamatan dan kesehatan serta hanya peduli image-nya, atau bisa saja beliau memang tidak tahu dan belum diberitahu mengenai penyebab-penyebab penyebaran virus. Sebagai warga biasa kita hanya bisa rajin "positive thinking". Apalagi dah ada penguatan pasal penghinaan pejabat, takut ah gamau dipenjara.

Tapi kasus-kasus ironi ini tidak hanya terisolasi di daerah Klaten. Di Lembang, kasus hampir mirip, yakni pembagian masker yang berujung kerumunan massa, tetapi tidak se-narsis di Klaten. Di DKI Jakarta, pengumuman PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) diwarnai dengan press conference yang justru dihadiri kerumunan orang -terlebih wartawan-. Padahal PSBB tersebut melarang perkumpulan lebih banyak dari 5 orang.

Pihak berwajib mengharapkan warga mematuhi peraturan untuk mencegah penyebaran virus, tapi justru mereka seringkali berbuat hal - hal yang kontraproduktif dan mempercepat penyebaran virus corona. Sebagai contoh atau example seharusnya para pemimpin negeri, baik regional maupun nasional, aktif mencontohkan langkah - langkah penghambatan virus corona sehingga masyarakat pun mudah percaya dan tak lagi keras kepala dalam menghadapi pandemik kali ini.

Dibutuhkan peran seluruh elemen negara untuk menghadapi bencana nasional yang mengancam keselamatan Ibu Pertiwi kita. Langkah eksekutif pemerintah, karantina mandiri masyarakat, inisiatif lembaga-lembaga menyalurkan donasi, dan kerja sama yang koheren serta konkrit dari seluruh unsur negara.

Mari berdoa saja agar Ibu Pertiwi dan seluruh dunia dapat segera sembuh dari penyakitnya yang merenggutnya kali ini, serta agar tak ada lagi "Ironi di Kala Pandemi" yang mengkhianati perjuangan tim medis dan menjadi panggung pejabat narsis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apakah Guru Harus Selalu Dihormati?-bahkan ketika mereka bersikap tak terhormat?

Semenjak era enlightenment dan renaissance di Eropa, kaum intelektual, akademisi , terlebih mereka yang mengajar ilmu pengetahuan sanggup meraih posisi dan status sosial yang lebih tinggi dibanding saat zaman kegelapan abad pertengahan. Di beberapa negara mereka bahkan berhasil menggeser pengaruh para pemuka - pemuka agama yang telah lama memegang hegemoni kekuasaan berdampingan dengan para raja. Mereka yang dapat memahami dan menjelaskan dengan lancar hukum gravitasi Newton lebih dihormati dibanding mereka yang hafal kutukan - kutukan di Bible. Sains, ilmu pengetahuan, dan prinsip hidup sekuler mulai mendominasi segi - segi kehidupan di dunia. Disebarkan oleh negara - negara Eropa yang mengembangkan imperium mereka ke seluruh penjuru bumi.    Fast-forward 500 tahun. Keadaan di Indonesia tak jauh berbeda. Walaupun status sosial para pemuka-pemuka agama seperti ulama, pastor, dan biksu tetap tinggi, prestise seorang akademisi bisa dibilang melebihi para pemuka-pemuka agama ter...

Rome: The Throne of Caesar, Mussolini, and soon, Salvini

        1500 kilometers from Berlin, lies the capital of the Italians. Rome, the capital of a former empire that spans two continents and whom the world of antiquity kneels to. The hub of civilization before there was any scent of globalization. The "Caput Mundi" or the "Capital of the World". Also the birthplace of the Republican system of government. Which in turn gave birth to one of the most known figures in the history of mankind, Julius Caesar. The great Roman general, conqueror of Gaul and Goth, Consul of Rome, and the first to gain the title of "dictator" or more accurately "dictator perpetuo", which means dictator for life. His last name alone became the name of a political philosophy based on his leadership, Caesarism. Caesarism is a political ideology which essentially means a sole dictatorship. One person controls everything in one nation. All authority in the control of one small human brain. Which has the right to decide ev...